Sunday, March 6, 2011

Kuaci Sakti Mak Uwok

Saat kami kelas 2 pernah satu angkatan diundang oleh bapak Presiden, hebat kan diundang Presiden bersama siswa SMA lain. Supaya terlihat kompak kami semua memakai seragam putih-putih.

Event Organizer-nya KNPI pada saat itu lagi ngetop-ngetopnya, mereka menjemput kami dengan mengunakan bis kota Mayasari Bakti tanpa AC dan tanpa bayar untuk berkumpul di stadion utama Senayan dalam rangka memperingati Supersemar, 11 Maret 1980.
JADUL by Mkp To

Di masa itu terlihat bapak Suharto berkuasa banget, hampir semua anak SMA Negeri nggak boleh belajar untuk mendengarkan pidato beliau. Mendengarkan pidato? Ya nggak lah! Kami semua ngobrol dan bercanda sambil bermain kapal terbang dari kertas dilipat, berlomba adu jauh, kalau ada yang mencapai lapangan hijau riuh rendah suara kami semua seolah memberi semangat kepada si pesawat kertas tanpa awak untuk terbang lebih jauh dan jauh lagi.

Acara lainnya cuci mata, melihat cewek cantik dari SMA lain, seperti kata pepatah rumput tetangga lebih hijau dari rumput sendiri, nggak deng, cewek Smandel lebih keren kok.. Nah, lagi enak-enaknya berjalan di koridor antar bangku sambil plirak-plirik terdengar suara wanita memanggil, “Chormen ....., sini!”. Mantap! Ada cewek memanggil.

Tentu saja aku mencari suara mesra itu yang ternyata keluar dari mulut ibu Anifah, guru Matematika yang sering dipanggil Mak Uwok, tangannya memberi aba-aba supaya aku mendekat.
“Men, kamu mau kuaci nggak?”, kata beliau sambil menyodorkan sekotak kuaci yang sudah dibuka.
“Mau dong bu”, seraya mengambil dan menuangkan beberapa kuaci ke tangan kiriku, jumlahnya antara 5 dan 10, kalau dalam bahasa matematika notasinya, “ 5 < x < 10 ; x = bilangan bulat = kuaci ".

Selagi mulutku monyong untuk mengigit kuaci, bu Anifah mengeluarkan isi hatinya, “Men, rambut kamu udah gondrong tuh! Dipotong dong!”.
“Nggak punya do it bu”.
“Ya udah aku kasih”, beliaupun membuka tasnya untuk mengeluarkan rupiah, akupun pergi meninggalkan beliau, “Eh, kok dikasih uang malah pergi”.
Ya iyalah bu, kalau itu duit diambil mau nggak mau aku harus potong rambut. Sori aja deh!.

Disitu hebatnya bu Anifah, bukan rahasia lagi bahwa dibalik wajah angker beliau tersembunyi kebaikan hati yang tulus. Kalau ada murid yang tidak memiliki uang untuk membeli seragam, sepatu atau buku, beliau tidak segan untuk membuka koceknya.

Entah karena kuaci yang aku makan sudah dijampi-jampi oleh bu Anifah, aku jadi menurut aja mengikuti permintaan beliau untuk memotong rambut, memang sih jadi kelihatan lebih rapih.
Ketika berpapasan dekat kantor guru beliau bilang, “Nah, begitu dong .....! Sekarang kamu tambah ganteng dan tambah keren!”, sambil tersenyum dan mengacungkan jempolnya.
Jadi nggak enak!.

Terungkap satu rahasia lagi nih! Ternyata Mak Uwok punya selera tinggi juga ya!.